بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Adapun tentang perkara ini maka tidak ada perbedaan antara rumah
seorang muslim dengan rumah orang kafir, dari mulai bentuk rumah, warna
rumah atau bahan bangunan rumah, dalam hal ini ada persamaan, dan bukan
merupakan tasyabbuh yang diharamkan karena hal ini sudah
bersifat umum. Namun jikalau bangunan rumahnya berbentuk seperti
candi-candi atau tempat peribadahan orang kafir dan musyrik maka
dilarang, karena termasuk dalam tasyabbuh terhadap perkara yang menjadi
kekhususan mereka. Dan bahaya tasyabbuh dengan mereka adalah akan
membawa hati kita ke arah tumbuhnya rasa cinta dengan mereka, sedangkan
cinta macam ini adalah sebuah cinta yang diharamkan dalam agama kita
bahkan kalau cinta tersebut disebabkan karena membanggakan agama mereka
maka akan menjatuhkan ke dalam salah satu pembatal-pembatal agama islam.
Yang menjadi pembeda antara rumah orang kafir dengan rumah seorang
muslim adalah keadaan yang ada di dalamnya, dari adab-adab dan
akhlak-akhlak islami yang mulia yang dimiliki keluarga muslim dari
agamanya, yang akan menjunjung derajat mereka dengannya di dunia ini dan
membedakan mereka dengan seekor binatang yang tidak memiliki peradaban,
seperti keadaan orang-orang kafir yang tidak memiliki peradaban dan
akhlak-akhlak mulia pada rumah-rumah mereka.
Walaupun demikian kita tidak boleh bermudah-mudahan dengan terus
meniru setiap apa yang datang dari mereka, karena hal itu lambat laun
akan menimbulkan rasa dalam hati kita berupa kecintaan kepada mereka,
dan akhirnya selalu terpaut dengan setiap model yang datang dari mereka
dan meninggalkan sedikit demi sedikit rasa percaya diri kita sebagai
seorang muslim. Sehingga kita harus membedakan diri kita dengan mereka
dalam setiap urusan mereka. Dalam hal ini rumah seorang muslim harus
menghindari segala perlengkapan yang sifatnya bermewah-mewahan, yang
mana hal itu menghilangkan karakteristik seorang muslim yang mendambakan
hidup mulia di surga Allah subhanahu wa ta’ala.
Disebutkan dalam hadits bahwa kesederhanaan adalah bagian dari iman. Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda:
أَلَا تَسْمَعُونَ إِنَّ الْبَذَاذَةَ مِنَ الْإِيمَانِ، إِنَّ الْبَذَاذَةَ مِنَ الْإِيمَانِ
“Dengarkanlah sesungguhnya kesederhanaan sebagian dari iman, sesungguhnya kesederhanaan sebagian dari iman.“ (Shahih, HR. Abu Dawud)
Bila seseorang senantiasa berusaha melengkapi peralatan yang sifatnya
bermewah-mewahan, maka hal ini menjadi cerminan akan kecintaannya
dengan kehidupan dunia, yang lalai dengan tujuannya, karena kemewahan
itu akan membuatnya lupa tujuan, timbullah saling merendahkan antar
sesama, sifat ujub, sombong dan angkuhpun mengikutinya.
Allah subhanahu wa ta’ala telah mengingatkan keadaan manusia yang
lalai dengan tujuannya untuk apa dia diciptakan di dunia ini dengan
firman-Nya:
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ. حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ.
كَلا سَوْفَ تَعْلَمُونَ. ثُمَّ كَلا سَوْفَ تَعْلَمُونَ. كَلا لَوْ
تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ. لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ. ثُمَّ
لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ. ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ
النَّعِيمِ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (At Takaatsur: 1-8)
Maka sebagai seorang muslim kita harus selalu mengingat tujuan kita
di dunia ini, yaitu menjadikan dunia ini sebagai ladang amal bukan
untuk hidup selama-lamanya, supaya tidak terombang-ambing dengan keadaan
apalagi sampai menjadikan orang-orang kafir sebagai tauladan. Kita
harus memiliki karakteristik muslim dengan senantiasa mengikuti petunjuk
agama kita, baik dalam gaya hidup, sifat, dan yang lainnya dalam
segala aspek kehidupan.
Sebuah Kenyataan atau Khurafat?
Terjadi pada sebagian tempat, masyarakat memiliki keyakinan
sebaiknya rumah tidak menghadap ke timur atau ke barat, tapi menghadap
ke selatan atau ke utara. Mereka berkeyakinan, jika rumah itu menghadap
ke timur atau barat akan terjadi dengan apa yang diistilahkan dengan
bahasa jawa “ora becik, seret rejekine“ yaitu tidak bagus,
susah rezekinya. Apakah ini keyakinan yang benar atau sekedar khurafat?
Lantas Bagaimana tinjauan syari’at Islam terhadap hal tersebut?
Jawab :
Hal tersebut bukan merupakan keyakinan yang benar, melainkan khurafat
dan kerjaan para dukun yang sedang menawarkan dagangan mereka untuk
mencari uang.
Adapun ditinjau dari kaca mata syariat, hal itu menyelisihi ajaran
Islam yang mengajarkan pemeluknya untuk meyakini bahwasanya hanya
Allah subhanahu wa ta’ala satu-satu Dzat yang mampu untuk memberi
manfaat dan menolak mudharat kepada hamba-hamba-Nya. Begitu pula masalah
rezeki dan lain sebagainya.
Demikian juga hal tersebut seakan-akan mereka mengetahui hal yang
ghaib (tersembunyi), karena keyakinan mereka bahwasanya posisi rumah
yang demikian akan menyulitkan datangnya rezeki atau yang lainnya,
dimana tidak ada yang mengetahui hal yang ghaib kecuali Allah k saja .
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُهُمْ وَلا يَضُرُّهُمْ وَكَانَ الْكَافِرُ عَلَى رَبِّهِ ظَهِيرًا
“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak memberi
manfaat kepada mereka dan tidak (pula) memberi mudharat kepada mereka.
adalah orang-orang kafir itu penolong (syaitan untuk berbuat durhaka)
terhadap Rabbnya. (Al-Furqaan: 55)
Dan Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Ali-Imran: 128)
Nabi n saja ditiadakan pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib, lantas bagaimana dengan yang lainnya?
Allah k berfirman memerintahkan kepada nabi-Nya:
قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ
“Katakanlah: “tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”.” (An-Naml: 65)
Sesajen dari manakah hal itu?
Kita dapati pula adat sebagian penduduk setelah menaikkan kayu atas
rumah atau istilah Jawa (wuwungan), mereka memberi sesajen berupa
seikat gabah, setandan pisang, selembar kain (merah-putih) dan lain
sebagainya dengan anggapan hal tersebut akan memberi barokah sebuah
rumah atau sebagai penghormatan terhadap penunggu desa tersebut .
Benarkah perbuatan ini menurut syari’at Islam?
Jawab :
Tidak benar, dan hal ini bukan dari tuntunan agama Islam, karena
dalam agama Islam tidak mengajarkan hal-hal tersebut. Kalau seandainya
hal itu benar, tentunya sudah dicontohkan oleh Nabi kita n, supaya
dicontoh oleh umatnya. Ini adalah budaya-budaya non muslim yang diserap
oleh kaum muslimin yang jauh dari agamanya, lalu mereka mengikutinya,
dan kemudian oleh sebagian para dukun dibumbui dengan perkara-perkara
mistis untuk menakut-nakuti seorang muslim yang imannya lemah, sehingga
terjatuhlah mereka dalam kesyirikan.
Dari sisi lain, disebutkan dalam hadits bahwa makanan saudara kita
dari bangsa jin adalah tulang–belulang yang disebut padanya nama Allah l
ketika menyembelih, bukan seperti yang mereka sangka dan mereka lakukan
itu dengan mempersembahkan sesajen-sesajen kepada para syaitan. Karena
ini adalah perbuatan syirik yang diharamkan dalam agama Islam.
Dari Abdullah bin Mas’ud a bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda:
قَدِمَ وَفْدُ الْجِنِّ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه
وسلم- فَقَالُوا : يَا مُحَمَّدُ انْهَ أُمَّتَكَ أَنْ يَسْتَنْجُوا
بِعَظْمٍ أَوْ رَوْثَةٍ أَوْ حُمَمَةٍ ، فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
جَعَلَ لَنَا فِيهَا رِزْقًا. قَالَ فَنَهَى النَّبِىُّ -صلى الله عليه
وسلم
“Datang utusan dari jin kepada Rasulullah n
lalu berkata: “Wahai Muhammad! laranglah umatmu dari beristinja’
(membersihkan kotoran) dengan tulang dan kotoran hewan atau arang kayu
(dan sesuatu yang telah terbakar dari kayu atau tulang) karena Allah l menjadikannya rejeki (makanan) untuk kami”. Lalu berkata (Abdullah Ibnu Mas’ud): “Maka Nabi n melarangnya.“ (Shahih, HR. Abu Dawud, Baihaqi, dll)
عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ قُلْتُ لِابْنِ مَسْعُودٍ هَلْ صَحِبَ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ الْجِنِّ
مِنْكُمْ أَحَدٌ فَقَالَ مَا صَحِبَهُ مِنَّا أَحَدٌ وَلَكِنَّا قَدْ
فَقَدْنَاهُ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَقُلْنَا اغْتِيلَ اسْتُطِيرَ مَا فَعَلَ
قَالَ فَبِتْنَا بِشَرِّ لَيْلَةٍ بَاتَ بِهَا قَوْمٌ فَلَمَّا كَانَ فِي
وَجْهِ الصُّبْحِ أَوْ قَالَ فِي السَّحَرِ إِذَا نَحْنُ بِهِ يَجِيءُ مِنْ
قِبَلِ حِرَاءَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَذَكَرُوا الَّذِي كَانُوا
فِيهِ فَقَالَ إِنَّهُ أَتَانِي دَاعِي الْجِنِّ فَأَتَيْتُهُمْ
فَقَرَأْتُ عَلَيْهِمْ قَالَ فَانْطَلَقَ بِنَا فَأَرَانِي آثَارَهُمْ
وَآثَارَ نِيرَانِهِمْ قَالَ قَالَ ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ قَالَ عَامِرٌ
فَسَأَلُوهُ لَيْلَتَئِذٍ الزَّادَ وَكَانُوا مِنْ جِنِّ الْجَزِيرَةِ
فَقَالَ كُلُّ عَظْمٍ ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ يَقَعُ فِي
أَيْدِيكُمْ أَوْفَرَ مَا كَانَ عَلَيْهِ لَحْمًا وَكُلُّ بَعْرَةٍ أَوْ
رَوْثَةٍ عَلَفٌ لِدَوَابِّكُمْ فَلَا تَسْتَنْجُوا بِهِمَا فَإِنَّهُمَا
زَادُ إِخْوَانِكُمْ مِنْ الْجِنِّ
“Dari Alqomah a berkata: “Aku bertanya kepada Ibnu Mas’ud a, apakah ada dari kalian yang menemani Rasulullah n
pada malam jin (pembacaan Al-Qur’an kepada jin), dia menjawab: “Tidak
menemaninya seseorang dari kami, akan tetapi kami kehilangan beliau
pada suatu malam, kamipun berseru: “Beliau hilang dan lenyap, apa yang
beliau kerjakan?”. Maka kamipun tidur dengan sejelek-jelek malam, yang
bermalam padanya suatu kaum. Ketika pagi hari tiba atau pada waktu
sahur, serentak beliau mendatangi kami dari arah Gua Hira .
Kami berseru: “Ya Rasulullah..!“ Lalu menyebutkan kisah mereka.
Lantas beliau n menjawab: “Mendatangiku da’i dari jin, lalu akupun menemui mereka dan menbacakan untuk mereka Al-Qur’an.” Kemudian beliau mengajak kami dan menunjukkan bekas-bekas mereka dan bekas api mereka.
Berkata Ibnu Abi Zaidah dari ‘Amir: “Mereka meminta Rasululloh n bekal dan mereka para jin dari Jazirah.”
Lalu beliau n berkata: “Untuk kalian setiap tulang yang disebut padanya nama Allah,
(tulang tersebut) akan penuh dengan daging apabila sudah ditangan
kalian, dan setiap kotoran hewan itu akan menjadi makanan untuk hewan
kalian.
Maka janganlah kalian beristinja’ dengan keduanya karena keduanya itu adalah bekal untuk saudara kalian dari para jin.” (HR. Ahmad, Baihaqi, dll. Berkata Asy-Syaikh Syuaib Al-Arnaud Al-Hindiy: ”Sanadnya shahih dengan syarat Muslim, para perawinya adalah perawi shahihain, selain Dawud bin Abi Hindi, perawinya Imam Muslim.“)
Dengan demikian, masihkah kita sebagai seorang muslim percaya dengan hal-hal tersebut yang tidak jelas asal muasalnya dan dari mana datangnya, melainkan hanya ucapan: “Katanya dan katanya, atau kata orang tua dulu.” Lebih tua orang tua mereka atau Nabi kita?
Bangunlah dari tidur kalian wahai kaum muslimin, pelajari agama kalian dan tinggalkanlah budaya-budaya kesyirikan ini.
Bangunlah dari tidur kalian wahai kaum muslimin, pelajari agama kalian dan tinggalkanlah budaya-budaya kesyirikan ini.
Letak rumah
1) Dianjurkan bagi seorang muslim untuk mencari rumah atau membangun rumah yang dekat dengan masjid
Hal ini dimaksudkan agar memudahkan baginya untuk menunaikan shalat berjama’ah dan ibadah yang lainnya di masjid.
Walaupun yang lebih utama adalah jauh dari masjid, karena setiap
langkahnya akan dihitung pahala. Tapi, karena mengingat lemahnya iman
pada umat Islam dan pengaruh lingkungan yang banyak sekali kemaksiatan
pada zaman sekarang, dekat dengan masjid lebih utama untuk menjaga diri
dan keimanan seseorang. Wallahu a’lam bisshawab.
2) Mencari rumah atau membangun rumah yang jauh dari lingkungan maksiat atau tetangga yang buruk.
Lingkungan yang dekat dengan kemaksiatan atau tetangga yang buruk
memiliki pengaruh yang luar biasa pada sebuah keluarga. Sebagaimana
kisah yang panjang, yaitu kisah perjalanan taubatnya seseorang yang
telah membunuh 100 orang, padanya disebutkan:
اِنْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا , فَإِنَّ بِهَا
أُنَاسًا يَعْبُدُوْنَ اللهَ, فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ
إِلَى أَرْضِكَ, فَإِنَّهَا أَرْضُ سُوْءٍ
“Pergilah engkau ke sebuah negeri seperti ini dan seperti ini
(yang disifatkan padanya negeri tersebut), karena sesungguhnya di
dalamnya terdapat kaum yang beribadah kepada Allah Ta’ala, beribadahlah bersama mereka dan jangan kembali ke negerimu, karena negerimu adalah negri yang jelek (banyak kemaksiatannya). (HR. Muttafaqun ‘alaih No : 2766 dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu’anhu)
3) Memperhatikan hal-hal yang mendukung kesehatan pada sebuah rumah.
Di antaranya dengan menjauhi membangun rumah di tempat-tempat yang
kotor, seperti dekat tempat-tempat pembuangan sampah, dekat
genangan-genangan air, dll. Karena kebersihan dan kesucian adalah
sebagian dari iman, maka wajib bagi seorang muslim untuk memperhatikan
kebersihan dan kesucian tempat tinggalnya, lingkungannya, serta dirinya,
karena lingkungan juga menunjukkan pribadi si penghuninya. Zhahir dari
sesuatu adalah cerminan bagi batinnya.
Dari Abu Malik Al-Asy’ariy radhiallahu’anhu bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda:
الطّهُورُ شَطْرُ الإِيمَان
“Kesucian adalah sebagian dari iman.“ (HR. Muslim)
Sebagaimana makanan, lingkunganpun bisa mempengaruhi tabi’at manusia,
dimana disyari’atkan untuk tidak makan daging hewan yang kebiasaannya
memakan kotoran sebelum dikurung/dikarantina tiga hari atau lebih, atau
kita dilarang untuk memakan hewan yang bertaring karena ditakutkan
tabi’at hewan tersebut akan ditiru oleh pemakannya, karena daging yang
tumbuh pada manusia itu dari binatang tadi.
Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda:
وَالْفَخْرُ وَالْخُيَلَاءُ فِي أَصْحَابِ الْإِبِلِ وَالسَّكِينَةُ وَالْوَقَارُ فِي أَهْلِ الْغَنَمِ
“Keangkuhan dan kesombongan ada pada penggembala onta, ketenangan dan kewibawaan ada pada penggembala kambing“. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini memberikan faidah bahwasanya kebersamaan akan saling
mempengaruhi sebagaimana penggembala onta yang setiap hari bersamanya,
jadilah dia seorang yang sombong dan keras kepala dan tinggi hati
seperti keadaan onta yang mencari makan pada ujung-ujung pohon. Begitu
pula keadaan penggembala kambing, ketenangan yang dimiliki kambing
mempengaruhi penggembalanya tanpa perlu berteriak-teriak, tidak seperti
halnya penggembala onta.
Contoh hadits lainnya adalah sebagaimana sabda nabi shalallahu alaihi
wasallam yang melarang duduk di atas kulit macam agar tidak tertular
memiliki tabiat macan yang buas. Disebutkan dalam sebuah hadits:
نهى عن الركوب على جلود النمار
“Beliau shalallahu alaihi wasallam melarang untuk duduk di atas kulit macan“. (Shahih. Lihat Jami’ Ash-shahih no. 6881, Asy-Syaikh Al-Bani)
Perkara lainnya yang mendukung kesehatan pada sebuah rumah adalah
memperhatikan fisik dari bangunan rumah, di antaranya menjadikan
rumahnya segar dengan memasang jendela, lubang-lubang ventilasi angin,
serta tempat masuknya sinar matahari ke dalam rumah untuk kesegaran dan
sirkulasi udara, dll.
( Di salin dari buku Baitiy Jannatiy (Rumahku Surgaku) halaman 30-39, Penulis al-Ustadz Abul Hasan al-Wonogiriy )
Perhatian : Dilarang mengubah artikel ini ke
dalam file lain berupa e-book, chm, pdf ataupun file yang lainnya, serta
di larang mengprint artikel ini tanpa seizin dari Maktabah
Almuwahhidiin. Adapun untuk di copy paste ke blog ataupun website
dipersilahkan dengan tetap mencantumkan sumbernya tanpa menambah ataupun
mengurangi isi artikel.
Bagi pembaca yang ingin ta’awun (bekerjasama) untuk mencetak
artikel di website ini menjadi sebuah buku, silahkan menghubungi ke
nomor 0857 1552 1845
Bismillah..
BalasHapusafwan ustadz, apa masih ada buku Baitiy Jannatiy?
jazaakallahu khairan..